Skip to main content

Buku Hitam.


Daripada berbicara, aku lebih suka mendengar orang lain bicara.
Aku seperti tidak mampu menyusun kata-kata dengan baik saat harus berhadapan dengan orang lain, terutama orang asing, atau di hadapan banyak orang yang aku kenal. Lebih mudah bagiku berbicara lewat tulisan. Seperti saat ini. Menulis jurnal harian sudah aku mulai sejak masih sekolah dasar, dan meskipun intensitas menulisku kini semakin berkurang, aku tidak pernah melewatkan satu minggu dalam hidupku tanpa menulis, atau mengetik sesuatu, karena dengannya aku selalu merasa kembali pada diriku sendiri.
Masalahnya, aku ingin selalu menulis dengan kebahagiaan.
Karena itu saat ide mengucur deras seperti keran baru yang baru saja digunakan pada percobaan pertama, aku tidak bisa berhenti. Aku akan menulis terus hingga jari-jari tanganku mulai meminta haknya beristirahat. Tapi ada kalanya ketika aku ingin menulis, tak ada satupun kalimat yang keluar dari otakku. Isi kepalaku mendadak kosong. Dan yang bisa aku lakukan hanya menatap layar sambil berharap jari-jariku bergerak sendiri mengetik sesuatu di sana yang tentu saja mustahil. Saat-saat seperti itu membuatku merasa menulis adalah hal yang menyakitkan hingga aku ingin jauh-jauh darinya.
Dan seperti takdir, Sam mengenalkanku pada Lana.
Sam -Samuel-, adalah sahabatku, ralat, satu-satunya sahabatku di muka bumi. Kami mengenal sejak kecil, berpisah saat aku menginjak SMP, dan bertemu lagi saat kuliah. Lima tahun setelah ia secara mengejutkan menjadi seorang pegawai negeri, dan aku hanya seorang penulis musiman yang hanya menulis saat ingin menulis, Ia menelponku -sekaligus menyelamatkanku- dari kehidupan menyedihkan ini dengan mempertemukanku pada Lana.
Kali kedua kami bertemu, di tempat yang sama, ia memesan segelas es kopi susu lagi.
"Apa kau tidak keberatan jika aku menuliskan ceritamu dalam sebuah blog?" Tanyaku langsung.
Ia menggeleng cepat, "Tidak masalah."
"Menurutmu, mengapa cerita ini harus dibaca orang lain?"
"Sebenarnya hal itu tidak terlalu penting bagiku," Jawabnya. 
"Aku hanya ingin melunasi hutang pada diriku sendiri."
Aku menaikkan alis, "Hutang?"
"Kita kurang lebih sama. Dulu aku juga menulis sepertimu. Menulis membuatku melepaskan sesuatu. Tapi setelah empat tahun, aku tidak mampu menuliskan apa-apa." 
Ia berhenti sejenak," Menurutmu?"
"Hidupmu masih terbelenggu." Jawabku perlahan.
Ia tersenyum kecil, "Belenggu yang paling menyakitkan adalah kenangan. Kau berusaha sekuat tenaga menghilangkannya, tapi pikiran dan hatimu selalu berada di posisi yang besebrangan. Kau membiarkan hidup berjalan sebagaimana mestinya, tapi pelan-pelan satu persatu dalam dirimu menghilang hingga kau tidak mampu mengenali dirimu lagi."
Aku melihat pandangannya kembali mengembara.
Dari dua kali pertemuan dengannya, aku hampir tidak pernah melihatnya benar-benar bicara padaku. Ia seperti melihat ke arah yang sangat jauh, dan hampir sebagian kalimatnya dilontarkan seperti ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. 
Lana membuka tasnya yang berada di atas meja, mengambil sesuatu dari sana.
Sebuah buku bersampul hitam.
"Ini. Untuk bumbu masakanmu." Ujarnya sambil mengangsurkan buku itu padaku.
"Tidak ada kebahagiaan disana. Entah mengapa, aku hanya selalu mampu menulis kesedihan." Jawabnya sambil tertawa.
Gugup, Aku meraba sampul buku bertekstur kasar tersebut, semoga semua baik-baik saja.

Comments